The Assasination Games, Kapitel IV : First Round

Kapitel IV | First Round

Aku akan merasa berdosa untuk hari ini dan esok. Tanganku sudah kutahu akan berlumuran oleh dosa.

“Three…. SET!”

Tanpa banyak berpikir aku berlari sekencang-kencangnya. Ketika aku di sekolah, aku selalu meraih nilai tertinggi dalam olahraga dibanding dengan anak perempuan lainnya, tidak heran aku dijuluki The Flash Girl. Kemampuanku yang lain ini tidak kusangka akan sangat bermanfaat dalam The Assassination Games ini.

Iris biru-ku dapat menangkap sebuah tas penuh berwarna biru tua. Ya, itu adalah sasaranku. Aku segera mengambil langkah seribu untuk mendapatkannya, dan aku berhasil meraih tas itu dengan tangan kiriku. Meski sedikit sulit, karena aku bukanlah orang kidal. Tapi itu tidak mudah, karena aku berebutan dengan seorang peserta laki-laki dari Distrik 4, yang kalau kuingat namanya adalah Kirito.

Tch. Sial.

Aku menendang dan mendorong Kirito agak jauh, memanfaatkan latihan gulatku saat masa latihan. Dengan busur kayu elm, aku langsung menarik tiga panah sekaligus dan tepat menancap di perutnya. Darah bermuncratan dan dia jatuh tersungkur ke rerumputan, dan aku langsung melarikan diri ke hutan untuk menghindari pertarungan lagi. Tadi itu hanya terpaksa.

Dentuman meriam terdengar sangat kuat, menandakan seorang peserta mati, dan itu tidak lain adalah Kirito. Dia adalah peserta pertama yang mati dalam kompetisi ini dan aku merasa berdosa – tapi kompetisi ini memaksa para pesertanya untuk saling membunuh.

Sedikit terlintas Ren di pikiranku. Aku mengkhawatirkannya, dan sekarang aku tidak bersamanya. Dia sangat baik, dan selalu menolongku… Tapi sekarang bukan itu yang seharusnya kupikirkan, sekarang adalah cara pergi ke menara yang menjadi tempat finish di ronde ini.

Aku menyandar di balik pohon pinus yang cukup besar dan tinggi, untuk menyembunyikan diriku sendiri dari peserta lainnya. Tanganku sedikit berlumuran darah Kirito, karena aku juga mengambil panahku kembali dan aku ingin mencucinya, tapi tidak ada air. Kubuka perlahan ranselku itu, dan ternyata aku cukup beruntung. Tas penuh itu ternyata berisi senter tahan lama, jas hujan, kacamata hitam, kantung tidur berwarna biru tua yang agak tebal. Selain itu terdapat pula beberapa makanan seperti dendeng sapi kering, satu botol penampung air yang sudah bersih dari kuman, biskuit lemon dua bungkus, tiga kotak korek api, dua pasang kaos kaki ekstra dan panah-panah tambahan! Beruntung ternyata tas ini menyimpan bahan yang penting untuk senjataku nantinya.

Hari sudah menjelang siang, dan sudah terdengar dua dentuman meriam setelah kematian Kirito tadi. Pihak Centrum memunculkan layam hologram raksasa di langit yang akan menunjukkan peserta-peserta yang sudah mati. Bisa terlihat dari nama dan distrik asalnya. Jemariku mulai menghitung, dan memang sudah ada tiga peserta yang mati.

Sepasang peserta dari Distrik 4 sudah mati. Satunya adalah Kirito yang tadi kubunuh dengan tiga panah langsung di perutnya, dan satu lagi adalah Akari Shiroibara yang aku tidak tahu siapa yang sudah membunuhnya. Satu orang lagi adalah dari Distrik 3, Hazuki Tachibana.

Perlahan aku mulai berjalan dengan sunyi agar tidak menarik perhatian peserta lain, karena aku tidak mau terbunuh di ronde pertama seperti ini. Hatiku masih sedikit berat setelah menancapkan panah-panah itu ke perut Kirito, tapi semuanya sudah terlambat untuk menyesal. Dia sudah mati dan jasadnya akan dibersihkan, didandani dan dibawa pulang ke distrik asalnya untuk dimakamkan.

Aku masih memiliki cukup banyak tenaga untuk menelusuri hutan luas ini, dan itu menghabiskan banyak waktu menurutku. Sampai menjelang petang, belum terdengar lagi suara dentuman meriam. Sepertinya peserta di The Assassination Games kali ini lebih waspada dan berhati-hati. Padahal di kompetisi sebelumnya, 6 orang sudah mati pada ronde pertama dan jumlahnya dua kali lipat dari jumlah orang yang sudah mati pada ronde pertama, di kompetisi kali ini.

Tiba-tiba terdengar suara langkah lari.

Aku langsung berkamuflase walau tidak terlalu pandai dan aku melihat seorang gadis yang terengah-engah berlari. Dia adalah Celine E. Northland, dari Distrik 2! Dia menggenggam pecut tambangnya dengan erat. Nafasnya terdengar begitu letih, dan keringat mengucur banyak di wajahnya. Kakinya sudah terlihat gemetar, dan darah juga terlihat mengalir di tangan.

“Darahmu!” Refleks aku melontarkan kata-kata itu padanya, dan dia terkejut. Tapi dia tidak punya niat untuk membunuhku sama sekali. Iris matanya yang berwarna emas berkilau itu bisa menunjukkannya, mata yang lelah dan begitu butuh belas kasihan.

Dia jatuh terduduk pelan, dan aku langsung berlari ke arahnya, memegangi tangannya untuk mengecek nadinya. Dia masih hidup, dan aku pikir dia sudah mati. “Kau tidak apa-apa?”

“Ya, terima kasih sudah menolongku.” Ujarnya lemah, disertai dengan anggukan yang tidak lugas. Otot tangannya melemas dan pecut tambangnya lepas dari genggaman eratnya itu.

“Apa yang terjadi padamu?”

Celine terus mengambil nafas, aku bisa langsung mengenali keadaannya bahwa dia baru saja berlari cepat, dan kelihatannya terlalu dipaksakan. “Aku dikejar oleh peserta perempuan Distrik 1. Dia adalah peserta terkuat dan terkeji dalam kompetisi ini, dan aku hampir kehilangan nyawaku di tangannya…”

Dentuman meriam terdengar lagi, dan sekarang telah bertambah satu orang yang telah terbunuh dalam kompetisi ini.

“Zero!!” jerit Celine ketakutan.

Aku terbelalak mendengar jeritan Celine. Pasangannya, Zero Mercuria dari Distrik 2 mati terbunuh. Aku yakin itu perbuatan dari Hinagiku Tanaka, peserta perempuan Distirk 1 yang diceritakan oleh Celine. “Celine! Tenangkan dirimu…”

Air mata mengalir dari matanya dan tercampur dengan keringatnya. “Seharusnya aku yang mati, bukan dia! Kalau saja dia tidak merelakan dirinya untuk menolongku, dan aku tidak lari meninggalkannya…”

Wajahnya lesu dan menderita pedih. Menurut informasi yang kudengar mengenai peserta lainnya, katanya Celine dan Zero menjalin hubungan kekasih. Mereka kebetulan bisa bersama-sama terpilih dalam The Assassination Games. Ya, itu adalah kekejaman dari pengundian nama untuk peserta dan aku benci hal itu.

Aku bangkit berdiri dan mengulurkan tanganku. “Kalau kau sedih, Zero juga pasti sedih. Kita harus terus melangkah maju, atau kau juga akan mati terbunuh. Siapa orang yang tidak akan sedih melihat temannya mati?”

Mata Celine berbinar. Dia tahu maksudku dan mengangguk, meraih tanganku. Tangannya dingin, dan sepertinya dia sudah tahu resikonya. Dia menghapus air matanya dan mencoba untuk tegar. “Terima kasih, Miyu-san.”

“Oh ya, ini sudah malam. Mau berkemah bersama?” tawarku. Dia juga membawa tas perlengkapan yang warnanya merah marun, dan dia mengangguk pelan. Tidak ada rasa kecurigaan diantara kami berdua dan kami memutuskan untuk tetap bersama sampai finish. Tidak ada peraturan yang mengatur diperbolehkannya bekerjasama dengan peserta lain sehingga daripada kami saling membunuh, aku bersekutu dengannya.

“Kamu bawa apa saja?” tanya Celine membuka penutup ranselnya. Ternyata di dalam tasnya memiliki alat yang tak kalah berguna. Pisau dengan mata yang tajam, beberapa kantong plastik cadangan, makanan berupa buah plum kering dan dua kotak berisi keju kambing yang dipotong sedang. Terdapat pula minyak tanah dalam botol kecil, pena yang memiliki lampu dan kantung tidur berwarna merah marun.

“Wah, cukup berguna! Bagaimana kalau kita saling berbagi perlengkapan?” Aku ikut menunjukkan perlengkapan yang terdapat di tas ranselku dan akhirnya kami saling berbagi. Celine juga membawa beberapa kayu bakar hasil cariannya dengan Zero sebelumnya, dan dengan korek apiku, kubakar kayu yang sudah berlumuran minyak tanah itu.

Celine memanggang dendeng sapi yang ada di tasku dan kami bagi untuk berdua. Tak lupa dengan cemilan berupa plum kering yang kami ambil hanya dua buah. Kami berjuang untuk menghemat perlengkapan sampai kami tiba di menara finish nantinya. Sayangnya tidak terlihat sumber air yang dekat disini, tapi kami berdua sama-sama haus.

“Ayo kita cari air, kamu punya botol kan?” ujar Celine membawa pecut tambangnya. Keadaannya sudah membaik, dan dengan tanaman obat-obatan yang kami temukan di sekitar tempat kami berkemah aku mengobati lukanya. “Kita bereskan saja dahulu perlengkapan dan kita bawa supaya tidak diambil.”

Aku mengangguk pelan. “Jadi kita akan mencari tempat berkemah lagi?”
“Yap… Kurasa aku harus belajar cara bertahan hidup, dan berkatmu aku menjadi tegar. Kalau tadi kita tidak bertemu, mungkin tadi aku sudah bunuh diri.”

Aku menghembuskan nafas lega, andai jika dia benar-benar bunuh diri. Kami membereskan barang-barang kami dan membawanya, lalu pergi mencari sumber air. Aku menemukan kacamata hitam di tasku. “Ini gunanya untuk apa sih?”

Celine mengambil kacamata itu. “Coba aku lihat,” jedanya. “Oh! Ini justru sangat berguna, kacamata ini kalau digunakan saat malam hari, kamu bisa melihat semua benda di sekitarmu dengan sangat jelas.”

“Biar aku coba.” Ternyata benar apa kata Celine, dan semua objek di hutan terlihat sangat jelas di mataku. Tupai yang mengendap-ngendap lewat, burung hantu yang bertengger di dahan, barisan semut yang berkoloni di tanah. “Ini benar terjadi!”

Kami berdua terus mencari sumber air sampai Celine bisa mendengar suara air mengalir. “Aku yakin kita sudah dekat sungai, ayo kita berjalan terus ke arah sana.” Ujar  Celine sambil menyalakan pena senternya. Ya, langit semakin gelap dan itu mempersulit kami berdua dalam pencarian ini. Sudah lagi Celine tidak mengenakan kacamata hitam sepertiku, jadi dia harus lebih waspada.

 TRANG!

Seketika terdengar suara bilah pisau. Kami berdua langsung bersembunyi di balik pohon pinus yang agak besar seperti biasanya, dan dengan kacamataku aku bisa melihat seorang gadis berambut coklat panjang dan iris biru safir. Lawannya adalah orang dari Distrik 1, tidak lain adalah rekan dari Hinagiku. Rei Furukawa.

“Itu…” kataku mendekatkan penglihatanku.

Gadis itu menarik jauh rantai besinya, dan mengerikannya rantai itu dilengkapi dengan bilah pisau yang cukup banyak. Aku kenal gadis ini, ya. Dia adalah lawan yang sudah pasti sejajar kekuatannya dengan Hinagiku. Dia adalah Chielle Suzumura.

“Mampus. Itu Chielle, dia adalah peserta perempuan terkuat kedua setelah Hinagiku, dan dia mengerikan juga. Tidak kalah dari Hinagiku.” Komentar Celine pelan.

“Maksudmu?” Aku hanya heran mendengar komentar Celine. Sejak kapan dalam kompetisi ini terdapat peringkat-peringkat kekuatan? “Memang diberi peringkat ya?”

Celine menjelaskannya dengan pelan. “Kalau kau melihat baik-baik area latihan kita waktu itu, terdapat layar yang menunjukkan peringkat perolehan nilai saat Seiru dan orang-orang lainnya melatih kita.”

Aku baru tahu itu, aku tidak terlalu memerhatikan sekitar lokasinya. Naruhana sibuk mencari tahu mengenai Rio dan aku hanya ikut-ikutan, bahkan Ren dengan baiknya memperbolehkanku. Aku jadi teringat Naruhana dan Rio, bagaimana kabar mereka. Tapi aku lebih mengkhawatirkan Ren.

“Terus?”

“Aku melihat semua peringkatnya dan itu masih terekam jelas di otakku. Kalau dilihat dari pembagian gender, peserta perempuan terkuat pertama adalah Hinagiku. Yang kedua adalah Chielle, dan yang ketiga adalah Naruhana. Di bawah itu, kamu berada di peringkat keempat, pas dibawah Naruhana,” jedanya. Aku sedikit kaget bahwa nilaiku cukup tinggi. “Dan aku berada di peringkat ketujuh.”

Aku mengangguk-ngangguk pelan. “Bagaimana dengan pembagian berdasarkan laki-laki?”
Celine melirik keadaan sekitar untuk mengawasi. “Kalau soal itu, rekanmu berada di posisi kedua.” Aku cukup terkagum bahwa Ren ternyata lebih kuat dari dugaanku. Tapi itu memang wajar. Ren sangat pintar, dari semua orang yang kutemui dialah yang paling pintar. Pemain tombak yang sangat terlatih, dan lagi matanya tajam. Dia tahu kemampuan untuk bertahan hidup sepertiku, dan dia juga artistik serta kreatif. Orang yang pantas menerima hal itu.

Tiba-tiba terdengar jeritan pelan, dan suaranya berat. Itu suara laki-laki dan baik aku maupun Celine, bisa ditebak kalau itu adalah suara Rei. Aku bisa melihat Chielle menggunakan bilah pedangnya dan seketika berubah menjadi bunga berduri yang melilit kepada Rei, menusuk badannya. Rantai yang sudah berubah menjadi sulur itu mengikat badan Rei dengan kuat – membuatnya menjadi lemah tertatih, darah tercucur keluar karena duri yang menusuk badannya.

Rei jatuh tersungkur di atas kubangan darahnya sendiri. Chielle mengerikan. Ya, sangat mengerikan. Aku heran apakah memang senjatanya bisa berubah bentuk seperti itu, tapi kami harus berjaga. Celine mengusulkan agar kami menggunakan kamuflase, dan tanpa pikir panjang kami melakukan kamuflase sederhana dengan mengecat badan kami dengan lumpur dan menempelkannya dengan daun-daun.

“Kupikir ada orang, ya sudahlah. Kanata sudah menungguku.” Ujar Chielle dengan santainya meninggalkan jasad Rei di depan sungai. Dentuman meriam kembali terdengar menandakan matinya Rei, dan dia langsung dibawa kembali ke Centrum. Kami mengendap pelan-pelan dan mengisi botol penampung air milikku dengan air di sungai yang sangat jernih itu.

“Untunglah Chielle tidak menyadari kita…” desah Celine lega. “Dia itu rumornya memiliki insting yang kuat.”

Mengingat tas ransel Rei masih tertinggal, kami mengambil barang miliknya dan mungkin berguna. Kami kembali mencari tempat untuk berkemah, lalu mencari kayu bakar lagi untuk membuat api unggun. Kami langsung menggelar kantung tidur kami masing-masing sambil memasang kaos kaki ekstra, dan aku berikan satu pasang milikku untuk Celine. Hawa angin malam ini cukup dingin dan itu membuatku agak menggigil.

Celine membuka tas Rei, dan terdapat barang-barang yang lebih menguntungkan lagi. Panci anti karat, iodine yang bisa dipakai untuk mensterilkan air agar bebas dari kuman, kotak P3K yang berisi perban, pil penurun panas, sirup obat batuk, botol alkohol, dan beberapa alat suntikan. Selain itu juga terdapat kacang dan umbi-umbian, bahkan tali tambang yang mungkin berguna untuk sesuatu, dan terakhir kain tipis yang bisa dimanfaatkan menjadi selimut.

“Kita masak saja umbi-umbian ini dan kita makan setengahnya,” kata Celine merebus air di api yang ia nyalakan, lalu mencemplungkan beberapa umbi-umbian ke dalam panci tersebut. Tak lama, umbi-umbian itu matang dan ia menyerahkan setengah dari umbi yang ia rebus. 

“Makanlah.”

Aku bisa melihat Celine dapat cepat beradaptasi walau cukup berat mengalami kenyataan bahwa kekasihnya sendiri telah mati. “Kau kuat, Celine.”

Celine hanya tersenyum pelan. “Aku rasa itu bisa dianggap pujian. Tapi mungkin ada benarnya, karena sebelumnya aku tidak seperti ini. Lemah, selalu dilindungi oleh Zero. Sekarang aku harus mencari cahaya kekuatanku sendiri.”

Memang benar apa dikatakan Celine. Tanggapan pertamaku mengenai Celine, saat aku sempat berpapasan mukanya di area latihan, berbeda sekali. “Ingat saat kita bertemu untuk yang pertama kalinya di area latihan?”

“Masih ingat kok, apa tanggapanmu?” tanyanya supel.

“Lemah, ya seperti yang kau katakan. Wajah yang terlihat sangat gelisah, dan berkaki hanya pada rekanmu walau kau tahu suatu saat dia akan mati atau kau membunuhnya. Tapi di sisi lain kau baik dan bertanggung jawab.” Aku jujur untuk soal itu, dan dia sama sekali tidak marah. Dia hanya menganggap itu wajar dan bahkan tertawa soal itu.

Celine menyelipkan dirinya kebawah kantung tidur merah marun-nya itu. “Ayo tidur, sudah malam. Kita kumpulkan energi sebanyak-banyaknya karena besok aku ingin cepat-cepat sampai ke menara finish itu. Menurutku sudah dekat,”

“Masa?” tanyaku ikut menyelipkan diri di kantung tidurku.

Celine mengangguk. “Katanya menara itu cukup dekat dengan air terjun dan di dekat sungai sudah pasti ada air terjun, jadi kita hanya perlu untuk menelusurinya sedikit. Aku yakin akan sudah ada orang sebelum kita.”

“Iya juga. Aku harap Ren sudah datang sebelumku.” Ujarku memikirkannya, mengingat bahwa kami rekan. Aku tidak pernah kepikiranuntuk membunuh orang sebaik dirinya, walau dia kadang itu agak kaku. Tapi dia benar-benar baik, dan sangat sopan kepada siapapun.

“Aku bisa melihat kalau kau dan Ren akrab.”

Wajahku memerah malu. “Apa maksudmu?” Aku cukup gagap kalau sudah berbicara soal hubungan cinta, dengan lelaki.

Celine tertawa pelan. “Kau selamat, dia pasti selamat.”

“Oh ya, Celine… Sebelum tidur, aku ingin bertanya. Rantai Chielle itu didesain untuk bisa dirubah-rubah ya? Seperti punya Mai dari Distrik 6.” Tanyaku.

“Tidak, tapi menurut informasi yang kudapat, Chielle punya julukan The Dire Magician. Dia juga mengerikan, dan katanya bisa menggunakan sulap. Mungkin sulap yang bisa merubah rantainya menjadi sulur bunga berduri itu.”

Mengerikan.

Aku pun segera menarik selimut yang kuambil dari tas Rei itu, dan kemudian mengejapkan mataku. Tak lama aku mulai terlelap dalam tidur sampai tak sadar bahwa fajar dengan cepatnya merekah. Sinar matahari menyinari mukaku dan aku bisa melihat Celine tengah memasak.

“Pagi, Celine,” Sapaku sambil keluar dari selipan kantung tidurku. Aku bisa melihat Celine merebus umbi lagi, tapi kali ini dia memadukannya dengan kacang dan juga beberapa tanaman. “Tanaman apa itu?”

“Ini? Ini tanaman sayur yang banyak ditemui di Distrik 2, tak kusangka tumbuh banyak di hutan ini. Ini seperti tanaman yang tumbuh banyak di air bergaram, makanya asin kalau sudah direbus. Warnanya hijau dengan bintik kecil putih, dan itu membuat rasanya asin… Distrik kami sering menyebutnya Whites.”

Celine pun mencincang umbi yang sudah direbus itu dan mengaduknya dengan kacang dan Whites. Kami memakannya bersama, tidak lupa dengan buah plum kering dan sedikit keju kambing. “Kelihatannya mulai hari ini kita juga harus berburu sedikit.”

Aku mengangguk, lalu menyelesaikan makanku. Aku meneguk air yang masih tersisa di botol, lalu membereskan barang-barangku. Kami memutuskan untuk meninggalkan tas Rei di sini, tapi mengambil barang-barangnya dan membaginya ke dalam tas kami masing-masing. 

“Oke, sudah siap?” tanyaku.

Celine mematikan api unggunnya dan dia tak lupa mengambil pecut tambangnya. Kami menutup jejak perkemahan kami disini agar tidak ada yang mengetahuinya, lalu pergi ke sungai sebentar untuk mengambil air. Tidak lupa aku meneteskan iodine ke dalam botol air itu agar semakin steril. Setelah itu, mengikuti petunjuk Celine, kami berdua menelusuri sungai untuk mencari jalan ke menara.

To be Continued

============================================================

Konbanwa minna!

Kali ini tidak banyak karakter yang muncul disini. Lebih banyak berfokus pada perjalanan Miyu dan Celine di hutan, dan kali ini Miyu mendapat teman baru selain Naruhana. Bagaimana dengan kisah mereka selanjutnya? Lima orang sudah mati pada ronde pertama dan hanya tersisa tiga belas orang peserta. Apakah Ren selamat?

Maaf kalau update-nya kadang lama ya, soalnya penulisnya punya kesibukan yang lain #bantai :3

Nanti di Kapitel selanjutnya mungkin akan muncul lagi beberapa karakter dan kalian bisa melihat lagi kerese-an Naruhana~ Terus apakah Miyu mulai menaruh perhatian pada Ren? Terus ikuti perkembangan TAG ya (_ _)

Trivia for Today :
  •          Tanaman Whites diambil dari bintik-bintik putih yang terdapat di daunnya. Diambil dari nama White Dots tapi disingkat saja menjadi Whites.
  •          Kacamata hitam yang dipakai oleh Miyu terinspirasi dari kacamata Katniss Everdeen dari THG yang baru tahu kegunaannya setelah diberi tahu oleh Rue, sama seperti Miyu diberitahu oleh Celine.
  •          Hubungan Miyu dan Celine sama persis dengan hubungan Katniss dengan Rue.


Bisa temukan trivia lainnya?

Jaa ne~



The Assasination Games, Kapitel III : Preparations

 Kapitel III | Preparations


Naruhana bangkit berdiri dari tempat duduknya. “Baiklah, sebaiknya aku pergi. Selamat malam, Ren-san dan Miyu.”

“Tak kusangka gadis seperti dia bisa berkata sadis seperti itu… Memang yandere banget,” Komentar  Ren hanya cengok mendengar perkataannya. “Ayo kita tidur, Miyu-san. Sudah malam.”

Aku hanya mengangguk dan perkataan Naruhana masih begitu terngiang di kepalaku. Namun aku mencoba untuk melupakannya dan tidur dengan nyenyak dan tenang. Besok memang belum The Assassination Games, tapi pelatihannya. Sudah lagi Chitose menyuruh kami bangun pagi.

Pagi hari sekali kami bangun. Aku tidak bangun sendiri, tapi dibangunkan oleh Ren. Oh aku baru ingat, aku terlalu terbiasa mendengar nyanyian burung Canary. Kalau tidak mendengarnya, aku tidak akan bangun sama sekali.

Aku menguap. “Hhoam…”

“Selamat pagi, Miyu-san.” Sapa Ren sambil membuka korden, dan dia sudah berpakaian rapih dengan seragam pelatihan yang disiapkan khusus oleh pihak pengelola The Assassination Games. Terdapat angka 9 dalam Romawi di lengannya, menandakan bahwa kami peserta Distrik 9.

“Cepat sekali! Kamu bangun jam berapa?” tanyaku sambil turun dari tempat tidur.
Ren mengingat-ngingat. “Kalau ga salah itu jam 4 pagi, tapi bisa juga jam setengah 4…” Aku cengok mendengar pernyataan Ren itu. Dia bisa bangun pagi tanpa alarm, dan aku cukup kagum karena aku hanya bergantung pada burung Canary.

“Baiklah, aku mandi dulu.”

Air dari shower ada yang panas dan ada yang dingin, dan karena tak pernah mengurusi alat seperti ini aku langsung dibanjur air yang super panas. “Hoaaaaaa!”

“Miyu-san?” tanya Ren mengetuk pintu kamar mandi. “Ada apa? Air panasnya ya?”

Aku mematikan keran. “I, iya… Kulitku langsung merah… Ren tidak usah khawatir, aku akan mencoba mengurusinya.” Setelah aku mencoba mengutak-ngatik kerannya, aku berhasil melewati cobaan. Aku bisa mandi dengan nyaman lalu berganti baju dengan baju pelatihan.

“Sudah siap berangkat? Chitose akan menunggu di depan ruang latihan.” Ujar Ren membuka pintu kamar.

Aku mengangguk, lalu mengambil panah andalanku dan mengikuti Ren ke tempat Chitose telah menunggu kami berdua. Dia memang telah menunggu sambil bersiul-siul tidak jelas. 

“Datang juga.”

“Maaf, tadi aku kesulitan dengan keran air shower…” Aku menunjukkan kulitku yang benar-benar merah itu. Chitose hanya memaklumi saja, mungkin karena dia akan memberitahu sesuatu yang penting.

“Kalian tahu seharian penuh ini akan dipenuhi oleh latihan dan aktivitas lainnya yang agak berat. Saranku adalah, tetap jaga gizi kalian dan jangan terlalu berlebihan. Atur strategi yang baik saat latihan, dan sebaiknya kalian memerhatikan dengan cermat apa bakat bertarung setiap peserta, lalu diingat.” Jelas Chitose serius.

Aku dan Ren mengerti. “Jadi, singkatnya hal yang kau beritahu itu akan mempermudah kami?” tanya Ren.

“Tentu saja. Aku pun melakukan hal yang sama, tapi kalian harus berhati-hati juga. Berlatihlah yang tekun dan serius selama masa latihannya, karena Cuma ada sekali dan The Assassination Games akan dimulai besok.” Chitose melihat jamnya dan melambaikan tangan kepada kami, mungkin karena dia harus segera pergi.

Ren masuk ke dalam gedung pelatihan. “Ayo, Miyu-san.”

“Ya.”

Saat kami masuk, kami sudah bisa melihat peserta dari Distrik 1, 2, 4 dan 7. Aku disambut oleh Naruhana, dan kelihatannya ia kesal. “Pagi, Miyu,” kata Naruhana datar. “Rio jahat.”

“Kenapa? Kalian bertengkar?” tanya Ren heran.

Naruhana manyun. “Bukan urusanmu… Tapi, masa dari tadi dia mengabaikanku terus, dan malah diam sambil mendengarkan musik kesukaannya!” desisnya kesal. Memang yandere sejati.

“Miyu-san, aku akan menunggu disana.  Kamu berbincang-bincang dulu saja…” Ren pun pergi meninggalkan aku dan Naruhana berdua.

Tiba-tiba Naruhana mendapat ide, menurutku. “Saat Rio pergi ke toilet, ayo kita telusuri musik yang terdapat di MP4-nya itu!” bisik Naruhana girang. MP4? Itu apaan? Mungkin alat yang bisa menyimpan musik? Di Distrik 9 tidak ada, jadi aku tidak mengerti.

Rio benar-benar pergi ke toilet dan kami diam-diam mengambil MP4 dan headset­-nya. Naruhana yang mengerti kontrolnya, mulai mengotak-ngatiknya. “Sebenarnya lagu apa sih yang membuatnya sampai dia begitu konsentrasi mendengarkannya,”

Naruhana cengok, bercampur tertawa terbahak-bahak.

“Nyan Cat?! Nekomimi Switch? Rin Rin Signal? Hahahahahahaha…!” seru Naruhana tertawa-tawa. Musiknya juga terdengar… sangat kekanak-kanakan. Apakah Rio itu pedophile? Oh, itu terkesan gila. "Sekarang aku tahu bahwa Rio itu..."

Rio keburu datang dan dengan cepat Naruhana mengembalikan alat-alat musik Rio itu dengan sempurna ke tempat semulanya. “Perasaan aku dengar suara tawa yang sangat keras tadi?”

Aku dan Naruhana mengangkat tangan. “Kami tidak tahu.”

Rio menatap tajam Naruhana, dan meneruskan mendengarkan lagunya itu. Entah apa yang membuat Rio tertarik dengan lagu imut dan kekanak-kanakan itu, memang beberapa sangat bagus namun yang satu itu memang bertema little sister

“Semua peserta, kumpul!” seru pelatih kami pada saat pelatihan ini.

Aku segera bergegas untuk berkumpul diikuti oleh Naruhana. Kami berbaris melingkari pelatih. “Namaku Seiru Kirino, bertugas untuk melatih kalian. Kali ini, aku akan memulai program secara satu persatu. Pertama, aku ingin melihat kemampuan bertarung kalian.”
Baik Ren maupun aku, kami mengamati talenta lawan dengan cermat sesuai dengan anjuran Chitose sebelum kami masuk ke ruang pelatihan. Peserta Distrik 1, Hinagiku dan Rei – sangat mengerikan.

Tebasan pedang, ya pedang. Kuat sekali dan aku bisa merasakan hawa nafsu membunuh yang pekat. Sementara itu, kuku besi yang berada di jari Rei juga luar biasa tajam, lebih tajam dari pisau. Distrik 1 memang distrik yang memiliki produk andalan berupa senjata, sehingga tidak heran bahwa senjata mereka itu lengkap.

Peserta Distrik 2, Celine dan Zero juga tidak kalah. Celine menggunakan pecut dari tali tambang dan dia sangat lincah. Semua dummy doll bisa ditebasnya dengan sempurna. Tak lain Zero, dia menggunakan jarum yang dapat diluncurkan lewat sebuah alat khusus yang dikaitkan di pergelangan tangannya. Mereka itu tipe petarung jarak tengah atau jauh, menurut analisis ku.

Kitano dan Hazuki, peserta Distrik 3 memang mengejutkan. Di balik wajah yang tenang, kekuatannya sadis. Kitano menggunakan dua pedang pendek yang mirip dengan Kizuna. Hazuki menggunakan pisau lempar yang bisa ia kendalikan lewat benang transparan yang ukurannya tipis, seperti dia mengendalikannya tanpa menyentuh. Dan lagi tangan mereka cepat.

Baik Kirito atau Akari, peserta Distrik 4 – tergolong defensif. Kirito menggunakan tongkat dan cara ia memutarnya mengerikan, dan tangannya sangat lentur. Dua dummy doll bisa dibantai olehnya. Akari, ternyata pandai dalam urusan kapak, dan ayunannya kuat.

Distrik 5, dengan pesertanya Chielle dan Kanata. Chielle menggunakan rantai besi panjang yang dilengkapi dengan pisau. Itu mengerikan, sekali ayun, bertambah tingkat kerusakannya. Kanata menggunakan pedang, namun pedang itu tidak terlalu panjang. Tebasannya hampir sekuat Hinagiku.

Mai dan Ryosuke, dari Distrik 6. Mai menggunakan pisau lempar yang memiliki banyak variasi. Ada yang biasa saja, ada yang bergerigi atau bahkan berduri. Tinggal diputar dan dia bisa mengubah variasi pisaunya. Ryosuke menggunakan panah sepertiku, hanya saja panahnya seperti dimasukkan ke dalam botol dan aku tidak tahu alasannya.

Giliran Naruhana dan Rio, dari distrik 7. Sebagai seorang yandere, Naruhana menunjukkan kesadisannya di saat yang sangat tepat. Dengan berbekal pedang warna hitam pekat, tebasannya sejajar denngan Hinagiku maupun Kanata, dan lagi gerakan Naruhana yang lincah. Rio ternyata pengguna panah juga, dan memiliki akurasi yang bagus.

Setelah itu, dilanjutkan dengan Distrik 8, Mirai dan Lan Hua. Mereka berdua sama-sama menguasai camouflage dan cepat. Mirai menggunakan senjata berbentuk bintang yang bisa dilempar bernama shuriken. Lan Hua menggunakan dua kipas yang bisa ia lempar dan putar dalam pertarungan.

Tibalah giliran kami, Distrik 9.

Ren maju pertama, dan dia mengeluarkan tombak. Ternyata dia lebih kuat dari dugaanku. Tombaknya langsung ditusuk ke arah dummy doll itu, dan bahkan dengan tombaknya ia mengayunkan dummy doll yang sudah tertancap dengan mata tombaknya ke dummy doll lain. Singkatnya, dia menimpuk-nimpuk.

“Hebat juga. Padahal kau adalah anak dari pembuat roti,” ujar Seiru. “Baiklah, giliranmu, Miyu Ichinose.”

Aku mengangguk dan maju ke tempat latihan. Dengan instingku, aku menarik panahku, dan saat aku melepas panahnya, itu langsung tertancap dengan tepat sempurna dan menghancurkan dummy doll itu. Tak mau kalah cepat, aku memanah dummy doll lainnya dengan cepat.

“Seorang pemburu, bisa dibilang kau sangat terlatih.”

“Terima kasih.” Balasku kembali pada Seiru.

Setelah penunjukkan bakat selesai, kami melakukan latihan berlari agar stamina kami terbangun dengan baik. Kami juga melakukan kegiatan atletik dan senam. Tak lupa, ada pula latihan mengatur strategi. Pokoknya hari itu dipenuhi dengan banyak kegiatan yang gunanya untuk mempersiapkan diri untuk The Assassination Games.

Tepat setelah latihan berakhir, Seiru mengumumkan cara round pertama untuk The Assassination Games besok. “Kalian tahu bahwa kompetisi ini bersifat pembunuhan. Ronde pertama akan dimulai dengan, kalian tiba di sebuah tanah lapang dan kalian harus mengambil tas berisi senjata tambahan, makanan dan peralatan obat-obatan. Karena terbatas, kalian harus memperebutkannya,”

Seiru menatap kami semua dengan tajam. “Namun itu memerlukan aksi membunuh, atau kalian tidak akan bisa mendapatkan tas itu. Dengan tas itu, kalian harus segera masuk ke hutan dan mencari jalan keluar ke sebuah menara nanti yang menjadi tempat finish kalian. Kadang kalian akan saling bertemu dan melibatkan sebuah pertarungan untuk terjadi.”

Memang mengerikan, ronde pertama akan menyambut kami dengan menegangkan. Pembunuhan sudah terjadi kemungkinan besar, dan berarti kami semua harus bersiap-siap untuk mempertaruhkan nyawa.

“Kembali ke kamar kalian masing-masing. Istirahat yang benar, besok kalian harus sudah berkumpul di depan lift yang akan membawa kalian ke atas tanah lapang, dan akan kami beri petanya.” Ujar Seiru menyerahkan peta-peta yang dibutuhkan nanti.

Setelah semuanya selesai, aku dan Ren kembali ke kamar kami. Rasanya cukup melelahkan hari ini, dimana banyak kegiatan persiapan yang membuat semua badanku pegal. Hah, lebih parah daripada berburu seharian.

“Cepatlah tidur, besok adalah hari yang telah ditunggu-tunggu oleh seluruh Nealithia.” Ujar Ren yang telah mengganti bajunya dengan baju tidur. Kelihatannya dia agak sedikit khawatir… Tapi itu wajar karena kami semua harus membunuh, atau malah dibunuh nantinya.

Aku tersenyum membalas ucapannya itu. “Oke.”

Kami tidur di kasur masing-masing dengan nyenyak, walau menyimpan rasa takut dan khawatir untuk esok harinya yang menjadi awal dari The Assassination Games. Aku tak tahu bagaimana nasibku yang selanjutnya, tapi aku berharap aku bisa melewatinya. Baik aku maupun Ren, atapun Naruhana dan Rio, aku tahu bahwa kami semua tidak mungkin bisa tegar menghadapi hari esok…

***

Miyu-san... Miyu-san, bangun… Ayo, bangun!

“Eh?” Aku membuka mataku perlahan dan bisa melihat Ren yang baru saja selesai berganti baju dengan baju kasualnya. “Aku terlambat bangun lagi ya?”

Ren menggeleng. “Tidak juga sih, tapi sebaiknya kamu bangun karena hari ini adalah The Assassination Games.”

Terkejutlah hatiku. Waktu berlalu terlalu cepat,  dan kenapa sudah harus memulainya? Aku pasrah dan mencoba kuat, pergi ke kamar mandi untuk mandi dan lalu berganti baju dengan pakaian kasual.

Aku sudah cukup terlatih dalam menggunakan keran air shower ini dan rasanya tidak ada halangan lagi saat mandi. Rasanya aku benci hal itu, karena aku tidak mau cepat-cepat membunuh atau dibunuh oleh peserta lainnya. Setelah mandi, aku berganti baju dengan kaos warna hitam keabu-abuan dan celana panjang warna khaki. Tak lupa, jaket kulit sedada yang bisa melindungi diriku sedikit. Kuikat rambutku dan tidak lupa mengambil panahku, dan kutaruh di tas panah yang kuselempangkan.

“Aku sudah siap.”

Ren mengangguk dan kami keluar dari kamar, dan segera berjalan ke tempat lift yang sudah diberitahu oleh Seiru. Kami sudah bisa menemukan semua peserta, kecuali peserta dari Distrik 3. Naruhana melambaikan tangannya kepada kami berdua, dan tatapannya sedikit sadis – mungkin karena sebentar lagi dia akan bertarung dan berubah mode

“Baiklah kalian semua, sepertinya kalian sudah berkumpul,” kata Seiru. “Oh, Distrik 3 belum datang ya?”

Untunglah peserta Distrik 3 pun langsung datang tepat waktu dan Seiru bisa melanjutkan penjelasannya. “Waktu kalian untuk sampai ke menara itu hanyalah dari pagi ini sampai tepat jam 12 malam. Lebih dari itu, kalian dianggap gagal.”

Seiru menyuruh kami untuk berdiri masing-masing di lift yang berjumlah delapan belas itu, dan boleh masuk secara acak, tidak harus bersama dengan peserta distrik yang sama. Ren mengambil lift yang hanya berbeda dua dariku, dan arahnya dari kanan. Naruhana sendiri berada di sebelah kiriku.

Kalau aku mengingat-ngingat, semua distrik menontoni kami dengan melihat sebuah layar besar yang terletak di tengah-tengah distrik…

Kizuna’s POV

Hari yang begitu hambar tanpa sahabatku itu.

Andai saja aku tidak egois dan tidak mengatakan mengenai ketakutanku saat Hari Pemilihan, Miyu tidak akan menggantikanku hari itu. Sekarang aku hanya bisa diam, bernyanyi-nyanyi tidak jelas di padang rumput dekat hutan. Sambil kutiup bunga dandelion, aku berharap Miyu selamat.

“Kizuna!” ujar seseorang yang kuanggap sahabat selain Miyu, yaitu Riechel. “Ronde pertama The Assassination Games sudah akan dimulai! Kita harus segera…”

Aku terkejut. Aku lari ke tempat dimana layar besar itu berada, dan diikuti oleh Riechel. Dengan langkah seribut aku terus bergerak ke tempat layar itu, tak peduli aku ngos-ngosan ataupun berkeringat. Kubisa melihat wajah Miyu, dan Ren, peserta perwakilan laki-laki dari Distrik 9.

Dia sepertinya memandang kami semua dan menunjukkan salam khas Distrik 9, yaitu mengacungkan jempol. Semua warga mengacungkan jempolnya juga, dan aku pun mengikuti mereka untuk menghormati jasa Miyu dan Ren nantinya. Dengan senyum, dia pergi naik ke lift yang membawanya ke tanah lapang.

End of Kizuna’s POV

Aku tahu bahwa ada kamera yang akan merekam semua peristiwa saat kompetisi dimulai. Dengan salam khas distrikku, aku berharap mereka termasuk Kizuna ataupun ibuku melihatnya. Sekarang aku harus fokus, dan bersiap untuk memenangkan kompetisi ini.

Himeta, Haru dan Chitose memandang kompetisi itu lewat layar di Centrum, menurutku. Semua orang melihat kompetisi ini, dan aku tidak akan kalah. Ini demi seluruh Distrik 9. Sedikit aku menoleh kepada Ren, dan tersenyum pelan. Dia membalasnya, menandakan bahwa dia siap, ataupun aku sendiri juga sama.

One.”

Itu dia tanda bahwa kompetisi gila ini akan segera dimulai.

Two…”

Aku akan merasa berdosa untuk hari ini dan esok. Tanganku sudah kutahu akan berlumuran oleh dosa.

“Three…. SET!”

To be Continued

============================================================

Konnichiwa minna~

Maaf kalau janji saya di Feather and Cherry’s Blog Lounge agak melenceng. Tadinya mau pagi hari, tapi sayangnya karena ada saudara dirumah jadi saya main dulu~ Owh, jumlah katanya lebih sedikit dari yang sebelumnya ya? Hahahahaha, mencoba untuk membuat sesuatu yang panjang.

Tidak hanya membahas cerita ini dari POV-nya Miyu aja (yang merupakan POV utama), tapi kali ini juga divariasikan dengan POV-nya Kizuna! Bertambah beberapa karakter lagi, dan itu adalah para OC di forum! Yang satu forum sama saya, tentunya tahu dong OC-OCnya~
Dan seperti biasa.

Trivia for Today :
  •        Dummy doll terinsiprasi dari boneka jerami yang ada tempat targetnya buat para Ninja. Ngeliat di Ninja Saga tuh…
  •          Camouflage itu adalah kamuflase, Mirai dan Lan Hua sama-sama menguasainya karena di RP, Mirai itu seorang Ninja dan Lan Hua adalah seorang Martial Artist.
  •         Maksudnya Naruhana berubah mode adalah dari imut jadi… kalian tahulah.
  •          Cara ronde pertama ini, tercampur dari THG dan juga Naruto, pas Ujian Chuunin yang di hutan itu. Jadi yang finish ke menara duluan itu yang menang, inget ga?
  •          Karena Distrik 9 miskin dan teknologi kurang, alat industrinya ga canggih. Bisa dilihat dari Miyu itu ga tahu MP4 itu apa.

Oke, sekian dulu. Jaa ne~