Kapitel I | The Drawing Day
Nyanyian burung canary mengalun dengan merdu. Kubangitkan diriku dari kasur, lalu menguap sebentar. Sinar matahari pagi menyinari tubuhku, dan rasanya sangat hangat. Hari ini cerah, aku tahu itu. Setiap hari, beberapa burung canary bertengger di dahan pohon dekat jendela kamarku. Mereka bisa dibilang adalah alarm bangun tidurku, dan pasti aku akan terbangun begitu aku mendengar burung-burung itu bernyanyi.
Aku turun dari tempat tidurku, tapi tak sengaja aku menginjak selimutku sampai beberapa bagiannya sobek. “Agh. Di saat seperti ini sobek? Aku harus meminta ibu untuk menjahitkannya kembali.” Ujarku, sambil merapikan selimut sobek itu. Entah sudah berapa kali aku menyobek selimutku, tapi itu wajar karena selimutku terbuat dari kain perca.
Dengan langkah seribu aku pergi ke dapur dan bisa melihat seorang wanita sedang memasak, yang tidak lain adalah ibuku.
“Pagi, Ibu.” Sapaku menarik kursi di meja makan, lalu duduk menunggui sarapan pada pagi itu. Kebetulan aku adalah anak tunggal, sehingga aku tidak mempunyai kakak maupun adik. Aku hanya hidup sendirian dengan ibuku, sejak ayahku meninggal dalam pemburuannya.
Semangkuk havermuth dan segelas air putih tersaji di depan mataku. “Kamu bangun pagi seperti biasanya, Miyu-chan.” Kata ibuku ikut duduk untuk sarapan. Miyu-chan adalah sebutan sayang untukku dari ibu, diambil dari namaku. Oh ya. Aku belum memperkenalkan diriku ya? Namaku adalah Miyu Ichinose.
“Tentu saja. Para burung canary itu selalu ada untuk membangunkanku.”
Ibuku tertawa kecil. “Haha, burung-burung itu sudah menjadi alarm-mu setiap hari. Apakah mereka senang bertengger di sana setiap hari? Apa yang kamu lakukan sampai mereka tertarik?”
“Setiap pagi, sebelum aku berangkat berburu kuberi mereka biji bunga matahari…” ujarku sambil menyantap havermuth.
“Pantas. Kamu berbuat baik pada mereka setiap hari,” jeda Ibu. “Oh ya, kamu sudah mau berangkat? Kalau kamu masih ada waktu, tolong bawakan ini kepada Kizuna.” Aku mengangguk pelan. Kizuna adalah sahabat baikku dan kami selalu berburu bersama. Aku menyelesaikan makanku, lalu segera mandi dan berganti baju. Kupakai jaket berburuku serta membawa panah yang dibuatkan oleh ayahku, senjata langka yang berada di tempat aku tinggal.
“Oh ya, Ibu. Selimutku sobek lagi, bisakah Ibu jahitkan kembali?” pintaku sambil memakai sepatu boots. Ibuku tersenyum. “Lagi-lagi sobek, Miyu-chan. Oke, nanti ibu jahitkan. Hati-hati, selalu berwaspada di hutan.”
“Aku tahu itu.”
Negeri yang kutinggali ini bernama Nealithia, sebuah negeri yang terdiri dari sepuluh daerah – dan daerah itu dibagi-bagi menjadi satu distrik pusat yang sering disebut Centrum dan sembilan distrik lainnya. Aku tinggal di distrik terakhir, yakni Distrik 9, distrik termiskin juga. Setiap distrik memiliki produk andalannya sendiri dan harus diserahkan kepada Centrum sebagai “pajak”. Peraturan itu ada sejak terjadinya suatu kejadian di Nealithia. Distrik 9 mengandalkan hasil hutannya sebagai penyerahan kepada Centrum, tapi kami selalu mendapat imbal balik yang kecil. Tentu saja, karena hasil hutan tidak terlalu dibutuhkan di Centrum.
Di ujung perbatasan antara Distrik 9 dan luar distrik terdapat pagar yang mengalirkan listrik, tapi hanya pada saat malam hari saja untuk mencegah binatang liar dari hutan masuk ke distrik. Namun listriknya dimatikan ketika sudah menjelang pagi hari, sementara aku dan Kizuna memanfaatkannya untuk berburu.
Banyak pemburu di Distrik 9, namun mereka selalu berburu di hutan yang memang sudah dikhususkan untuk berburu di utara distrik. Tapi tempat itu dijaga dan anak-anak sepertiku dilarang masuk sehingga kami memanfaatkan hutan di selatan ini yang agak “berbahaya”. Konon para pemburu disini hanya menggunakan tombak atau pisau, tapi untuk senjataku ini – panah, sangat langka ada. Panah ini adalah buatan ayahku dan diberikannya agar aku bisa melindungi diri sendiri. Jarang orang yang hanya bersenjata pisau atau tombak yang bisa bertahan hidup saat masuk ke dalam hutan itu.
Ayahku meninggal dalam pemburuannya, ketika ia sedang berburu di hutan selatan yang sering kutuju ini. Hari itu aku tidak ikut berburu karena aku sedang sakit, dan kudengar dia terbunuh. Rumornya ayahku terbunuh oleh orang-orang dari distrik lain yang membenci Distrik 9. Meski agak shock, aku dan ibuku berhasil mengembalikan semangat hidup kami dan terus hidup. Waktu itu aku masih berumur 9 tahun.
“Miyu!” seru seorang gadis berambut hitam yang tidak lain adalah Kizuna, sahabatku. Dia sudah menungguku di depan pagar perbatasan sambil membawa pedang pendek kepunyaannya. Sama seperti panahku, pedang pendek Kizuna ini langka ada. Walau semirip pisau, pedang pendek Kizuna jauh lebih tajam dan bahkan ada dua buah.
“Apakah aku terlambat? Oh iya, Ibu ingin aku menyerahkan bungkusan ini padamu. Kelihatannya bekal.” Aku menunjukkan sebuah bungkusan berwarna hijau muda, dari kain tipis.
Kizuna mengambilnya. “Berikan ucapan terima kasihku pada Ibumu ya.” Kami pun memulai pemburuan kami, dan masuk ke dalam hutan itu dengan meloncati pagar perbatasan. Tapi kami harus ingat bahwa listriknya akan dialirkan lagi pada siang hari, jadi kami tidak bisa berlama-lama di hutan.
Kuambil langkah pelan namun waspada di hutan. Aku menyiapkan panah andalanku, dan aku banyak mengandalkan instingku di sini. Instingku cukup tajam setelah aku mengasahnya sejak kecil.
SET! Dua ekor burung merpati terbang dan aku langsung menarik busurku dan menembakkan dua panah bergantian kepada setiap burung. Kizuna langsung melesat dan membelahnya.
“Yak, lumayan untuk setengah hari. Cukup mengenyangkan.” Kata Kizuna membersihkan bagian dalam burung itu dan mengambil dagingnya untuk dimakan. Aku juga mengambil bagianku dan kumasukkan ke tempat yang telah kusediakan untuk menyimpan makanan. Kami meneruskan pemburuan kami sampai waktu kami untuk keluar tiba.
***
“Hup!” Aku melompat dari pagar perbatasan kembali ke distrik bersama Kizuna. Cukup banyak hasil buruan kami , baik yang untuk dimakan maupun untuk dijual. Makanan seperti burung dan rusa akan kami bawa untuk dimakan, sementara bahan-bahan seperti jamur liar dan tanaman herbal, serta daging babi hutan akan kami jual ke pasar para pemburu yang bernama Venator.
Sambil berjalan aku dan Kizuna menghabiskan waktu dengan berbincang-bincang. “Ngomong-ngomong, hari ini adalah The Drawing Day ya?” tanya Kizuna mengingat kalender.
“Yap. Tahun ini memang belum diadakan ‘kan? Sudah lagi di umur kita yang saat ini, kesempatan kita terpilih jauh lebih besar.” Jawabku cukup tenang.
The Drawing Day, atau secara harfiah “Hari Pengundian”, merupakan hari dimana anak-anak berumur 12 tahun sampai 17 tahun akan dipilih sejumlah dua orang, satu perempuan dan satu laki-laki untuk dijadikan peserta dalam kompetisi tarung tahunan bernama The Assassination Games, sebuah kompetisi yang dibuat oleh Centrum 49 tahun yang lalu untuk menjadikan hukuman atas perang besar-besaran antara kesembilan distrik melawan Centrum. Kompetisi ini dijadikan bagian dalam peraturan utama negeri sehingga itu sulit untuk ditolak.
Dalam hari pengundian itu, setiap anak akan memasukkan namanya kedalam undian, dan seiring bertambahnya umur, akan bertambah slot untuk memasukkan nama anak itu. Otomatis, akan semakin bertambah pula kesempatan untuk terpilih dalam pengundian, dan biasanya hal itu ditakuti oleh para anak-anak di Distrik 9. Karena sesuai dengan namanya, The Assassination Games ini terdiri dari 18 peserta dari setiap distrik dan akan bertarung di Centrum. Dari kedelapan belas peserta itu, satu orang yang tersisa dalam kompetisi akan keluar dari juara. Dan hanya ada dua pilihan dalam pertarungan, dibunuh atau membunuh.
“Ya… Tapi aku tidak ingin terpilih dalam kompetisi itu. Aku tidak ingin keluargaku bersedih.” Ujar Kizuna agak lesu. Tentu saja, ayahnya menghilang dan lagi ibunya sakit-sakitan, tidak heran Kizuna sangat khawatir kalau dia terpilih.
Aku menepuk pundak sahabat baikku itu. “Tenang saja, semuanya akan baik-baik saja.” Ujarku sambil tersenyum.
“Terima kasih, Miyu.” Kata Kizuna mengucek matanya. Sepertinya air mata keluar sedikit dari matanya. Sesampainya di Venator, aku mengunjungi tempat penjualan langganan ku, Ye Olde Shoppe.
Seorang pria yang sudah berumur, sekitar 50 tahunan keatas tengah meniup pipanya. Walau sudah tua, instingnya tajam dan tahu bahwa akulah yang membuka pintu tokonya. “Masuklah, Miyu.”
“Iya, Hidekichi-san.” Kataku menaruh beberapa kantong hasil buruanku di meja. Tidak lupa Kizuna juga menaruh hasil buruan miliknya.
“Banyak sekali hari ini, kalian sangat bersemangat ya,” jeda Hidekichi-san sambil menimbang hasil buruan kami. Dia menyerahkan tiga kantong koin kepada kami masing-masing. “Walau hari ini adalah hari yang paling menakutkan setiap tahunnya bagi para anak-anak. Hari Pengundian. Pakailah baju yang bagus dan rapih, atau kalian bisa dipermalukan oleh Kisaki Starbloom nanti.”
Aku tertawa kecil. “Hahahaha, aku tahu itu. Kisaki Starbloom memang memiliki mulut yang sedikit kurang ajar… Tapi aku tetap takut pada hari ini, gugup sekali rasanya. Sekarang umurku 16 tahun dan namaku akan dimasukkan 9 kali.”
Kizuna menunjukkan wajah yang benar-benar lesu, dan aku bisa melihat bahwa dia sedikit tertekan. Umurnya lebih muda dua tahun dariku dan namanya akan dimasukkan 5 kali. “Kizuna, tenang saja. Kemungkinanmu masih lebih rendah dariku.”
Dia tersenyum kecil, dengan rasa agak terpaksa. “Ya, aku tahu.”
“Baiklah, Hidekichi-san. Aku pamit pulang dulu, terima kasih!” ujarku keluar dari toko bersama Kizuna. Kami berjalan pulang di arah yang sama sampai ke jalan cagak, lalu kami berpisah. Dia pergi ke jalan kiri dan aku jalan yang kanan. Sesampainya di rumah aku menaruh bootsku, lalu mengetuk pintu rumah dan Ibu membuka pintunya.
“Selamat datang kembali, Miyu-chan. Wah, tiga kantong koin dan makanan! Banyak sekali?” kata Ibu sambil membantuku membawa barang makanan. Aku duduk sebentar di sofa yang sedikit usang, lalu menghembuskan nafas lega. “Jam satu nanti pengundiannya ya?” tanyaku datar.
“Ya, nanti ibu siapkan pakaian untukmu. Mau makan keju kambing?” Ibu menyiapkan snack ternyata, mungkin dia juga sedang beruntung. Dua kerat keju kambing dan tiga buah roti yang cukup hangat.
Kuambil satu roti dan setengah keju untuk kumakan. Sambil ibuku menyiapkan baju, aku mandi sebentar karena aku baru saja selesai berburu. Karena hari pengundian, aku berdandan, walau tidak terlalu pandai, sehingga butuh bantuan dari ibu.
“Rambutmu cukup panjang, Miyu-chan… Kalau begitu ibu ikat saja ya rambutnya?” ujar ibuku. Dia mengikat rambutku yang panjang ini dengan telaten, dan hasilnya adalah rambut yang terikat sedikit longgar kebawah, dengan hiasan bunga carnation.
Aku segera mengenakan gaun selutut yang disiapkan oleh ibuku. Berwarna biru muda, dengan pita di belakangnya. “Apakah aku aneh?” tanyaku setelah selesai berdandan.
“Kamu cantik, lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya,” Ibuku mendekatiku dan tak lupa membubuhkan bedak sedikit pada pipiku. “Jangan biarkan kulitmu kering, nanti tidak cantik… Kamu banyak berburu sih.”
Aku memanyunkan bibirku. “Memangnya kenapa…” desahku, lalu bergegas mencari rak sepatu. Ibu menyiapkan sepatu selop warna putih untukku, dan hasilnya aku memang menjadi seorang gadis sederhana namun elok – menurut ibuku.
“Oke, semuanya sempurna! Ayo, kita pergi. Kamu tidak perlu khawatir, ibu akan mendoakanmu dari tempat penunggu.” Ujar Ibu sambil menarik tanganku. Ya, hatiku cukup bergetar dan aku tidak bisa membayangkan apa jadinya nanti.
***
Sebuah tanah lapang di tengah-tengah distrik sudah dipenuhi oleh banyak anak yang sedang mengkhawatirkan takdirnya nanti pada saat pemilihan. Aku melihat Kizuna, berpakaian sackdress warna putih berpita merah, dan selop warna merah. “Miyu.”
“Kizuna, apakah kamu masih takut?”
Kizuna mengangguk pelan. Ibu sudah menungguiku di tempat penunggu, sementara aku dan Kizuna berbaris untuk melihat pengundian nanti. Aku juga takut, namun aku lebih mengkhawatirkan keadaan Kizuna. Dia sudah depresi dari tadi, padahal biasanya dia cukup ceria.
Seorang wanita berambut pirang dan mata biru keluar dari belakang panggung, dan namanya adalah Kisaki Starbloom, wakil pengundian Distrik 9 dari Centrum. Pakaiannya eksentrik, dan sangat cerewet. “Selamat siang, anak-anak Distrik 9! Hari ini adalah Hari Pengundian, ya… Hari dimana aku akan mengundi kalian lewat nama-nama yang sudah berada di tabung ini, untuk menjadi peserta The Assassination Games!”
Hatiku berdetak kencang.
Ada dua tabung yang terletak pada meja. Satu tabungnya untuk mengundi perempuan, dan satunya lagi untuk mengundi laki-laki. Diantara hamparan kertas dalam tabung itu, terdapat sembilan kertas yang berisi namaku. Oh, itu membuatku makin gemetar dan takut.
“Kali ini, aku akan mulai mengundi untuk peserta…”
Kuharap laki-laki.
“Perempuan!”
Nasib baik mulai tidak berpihak padaku. Oh sialan. Aku juga baru ingat bahwa tahun lalu yang diundi pertama adalah untuk peserta laki-laki tahun lalu. Kisaki memang pandai membuat hari gemetar.
Kisaki mendekati tabung itu, lalu memasukkan tangannya. Tangannya berputar-putar untuk mengambil undian. Hatiku berdegup kencang untuk mendengar nama yang disebut. Dengan pelan Kisaki melepas lipatan kertas nama itu.
“… Kizuna Suzumura!”
Mataku terbelalak. Kizuna?! Aku bisa membayangkan wajahnya yang sudah depresi, dan sekarang akan lebih parah lagi. Aku menoleh ke arah Kizuna. Wajahnya pasrah dan dia sudah tidak tahu harus berbuat apa.
Ibunya tidak datang menemaninya, dan bisa saja ibunya ambruk saat mendengar kabar buruk bahwa Kizuna akan terpilih dalam The Assassination Games. “Kizuna! Kizuna!”
Kizuna menoleh kepadaku, dan orang-orang kaget melihatku. Para penjaga sudah menghalangiku, tapi aku tidak mau kalah. Aku tidak ingin Kizuna maupun ibunya bersedih hati. Hanya satu yang bisa kulakukan, sebelum Kizuna benar-benar dibawa pergi ke panggung.
“Aku mengajukan diri! Biarkan aku menggantikan Kizuna!” pekikku lantang.
Semua orang terkejut mendengar pekikanku, dan entah apa yang akan terjadi selanjutnya.
To be Continued
============================================================
O-hisashiburi desu ne, minna-san~!
Udah cukup lama aku ga post fanfic ya? Aku juga sempet kena writer block sih… (walau jangka waktunya ga terlalu panjang ) Well, buat orang yang suka baca karyaku, kali ini aku akan menutupi efek writer block itu dengan membuat fanfic ini, dan bab 1-nya kupuaskan kalian dengan lebih dari 2.000 kata! Biasanya fanfic buatanku pendek, tapi kali ini aku membuatnya lebih panjang, sekaligus memperbaiki diri dalam pembuatan fanfic.
Fanfic ini mengambil inspirasi, bahkan banyak bagiannya kuambil dan sedikit dimodifikasi dari novel Suzanne Collins yang berjudul The Hunger Games, yang mau difilmkan nanti tanggal 23 Maret 2012! Selain itu, karakter-karakternya bercampur dari OC-ku dan karakter anime. Sistem distrik juga terpengaruh dari THG, tapi juga sedikit dari 07-Ghost!
Akan kusediakan pula trivia-trivia yang memuat hal penting di fanfic tiap chapternya, dan ini dia~
Trivia for Today :
- Pedang pendek yang dimiliki oleh Kizuna, OC roleplay saya terinspirasi dari pedangnya. Namun lebih mengarah kepada pedang pendek yang dimiliki oleh Kizuna Tachibana dari Kamika Akumaka saat ia menusuk dadanya dengan pedang pendek tersebut pada drama Romeo and Juliet di sekolahnya.
- The Assassination Games diambil dari The Hunger Games, namun dengan peraturan yang sedikit berbeda dan jalan kompetisi yang berbeda.
- Kisaki Starbloom merupakan OC teman saya di Miadra Chronicles.
- Distrik 9 memakan makanan yang merupakan hasil buruan dan tergolong sederhana, sedikit mengambil dari Distrik 12 di THG dan Distrik 7 di 07-Ghost.
- Centrum berasal dari kata Latin yang berarti “pusat”.
- Venator berasal dari kata Latin yang berarti “pemburu”.
Sekian, profil karakter akan muncul seiring perkembangan cerita.
Disclaimer :
A lot inspiration from © The Hunger Games by Suzanne Collins.
Jaa ne~
0 comments:
Post a Comment