The Assasination Games, Kapitel IV : First Round

Kapitel IV | First Round

Aku akan merasa berdosa untuk hari ini dan esok. Tanganku sudah kutahu akan berlumuran oleh dosa.

“Three…. SET!”

Tanpa banyak berpikir aku berlari sekencang-kencangnya. Ketika aku di sekolah, aku selalu meraih nilai tertinggi dalam olahraga dibanding dengan anak perempuan lainnya, tidak heran aku dijuluki The Flash Girl. Kemampuanku yang lain ini tidak kusangka akan sangat bermanfaat dalam The Assassination Games ini.

Iris biru-ku dapat menangkap sebuah tas penuh berwarna biru tua. Ya, itu adalah sasaranku. Aku segera mengambil langkah seribu untuk mendapatkannya, dan aku berhasil meraih tas itu dengan tangan kiriku. Meski sedikit sulit, karena aku bukanlah orang kidal. Tapi itu tidak mudah, karena aku berebutan dengan seorang peserta laki-laki dari Distrik 4, yang kalau kuingat namanya adalah Kirito.

Tch. Sial.

Aku menendang dan mendorong Kirito agak jauh, memanfaatkan latihan gulatku saat masa latihan. Dengan busur kayu elm, aku langsung menarik tiga panah sekaligus dan tepat menancap di perutnya. Darah bermuncratan dan dia jatuh tersungkur ke rerumputan, dan aku langsung melarikan diri ke hutan untuk menghindari pertarungan lagi. Tadi itu hanya terpaksa.

Dentuman meriam terdengar sangat kuat, menandakan seorang peserta mati, dan itu tidak lain adalah Kirito. Dia adalah peserta pertama yang mati dalam kompetisi ini dan aku merasa berdosa – tapi kompetisi ini memaksa para pesertanya untuk saling membunuh.

Sedikit terlintas Ren di pikiranku. Aku mengkhawatirkannya, dan sekarang aku tidak bersamanya. Dia sangat baik, dan selalu menolongku… Tapi sekarang bukan itu yang seharusnya kupikirkan, sekarang adalah cara pergi ke menara yang menjadi tempat finish di ronde ini.

Aku menyandar di balik pohon pinus yang cukup besar dan tinggi, untuk menyembunyikan diriku sendiri dari peserta lainnya. Tanganku sedikit berlumuran darah Kirito, karena aku juga mengambil panahku kembali dan aku ingin mencucinya, tapi tidak ada air. Kubuka perlahan ranselku itu, dan ternyata aku cukup beruntung. Tas penuh itu ternyata berisi senter tahan lama, jas hujan, kacamata hitam, kantung tidur berwarna biru tua yang agak tebal. Selain itu terdapat pula beberapa makanan seperti dendeng sapi kering, satu botol penampung air yang sudah bersih dari kuman, biskuit lemon dua bungkus, tiga kotak korek api, dua pasang kaos kaki ekstra dan panah-panah tambahan! Beruntung ternyata tas ini menyimpan bahan yang penting untuk senjataku nantinya.

Hari sudah menjelang siang, dan sudah terdengar dua dentuman meriam setelah kematian Kirito tadi. Pihak Centrum memunculkan layam hologram raksasa di langit yang akan menunjukkan peserta-peserta yang sudah mati. Bisa terlihat dari nama dan distrik asalnya. Jemariku mulai menghitung, dan memang sudah ada tiga peserta yang mati.

Sepasang peserta dari Distrik 4 sudah mati. Satunya adalah Kirito yang tadi kubunuh dengan tiga panah langsung di perutnya, dan satu lagi adalah Akari Shiroibara yang aku tidak tahu siapa yang sudah membunuhnya. Satu orang lagi adalah dari Distrik 3, Hazuki Tachibana.

Perlahan aku mulai berjalan dengan sunyi agar tidak menarik perhatian peserta lain, karena aku tidak mau terbunuh di ronde pertama seperti ini. Hatiku masih sedikit berat setelah menancapkan panah-panah itu ke perut Kirito, tapi semuanya sudah terlambat untuk menyesal. Dia sudah mati dan jasadnya akan dibersihkan, didandani dan dibawa pulang ke distrik asalnya untuk dimakamkan.

Aku masih memiliki cukup banyak tenaga untuk menelusuri hutan luas ini, dan itu menghabiskan banyak waktu menurutku. Sampai menjelang petang, belum terdengar lagi suara dentuman meriam. Sepertinya peserta di The Assassination Games kali ini lebih waspada dan berhati-hati. Padahal di kompetisi sebelumnya, 6 orang sudah mati pada ronde pertama dan jumlahnya dua kali lipat dari jumlah orang yang sudah mati pada ronde pertama, di kompetisi kali ini.

Tiba-tiba terdengar suara langkah lari.

Aku langsung berkamuflase walau tidak terlalu pandai dan aku melihat seorang gadis yang terengah-engah berlari. Dia adalah Celine E. Northland, dari Distrik 2! Dia menggenggam pecut tambangnya dengan erat. Nafasnya terdengar begitu letih, dan keringat mengucur banyak di wajahnya. Kakinya sudah terlihat gemetar, dan darah juga terlihat mengalir di tangan.

“Darahmu!” Refleks aku melontarkan kata-kata itu padanya, dan dia terkejut. Tapi dia tidak punya niat untuk membunuhku sama sekali. Iris matanya yang berwarna emas berkilau itu bisa menunjukkannya, mata yang lelah dan begitu butuh belas kasihan.

Dia jatuh terduduk pelan, dan aku langsung berlari ke arahnya, memegangi tangannya untuk mengecek nadinya. Dia masih hidup, dan aku pikir dia sudah mati. “Kau tidak apa-apa?”

“Ya, terima kasih sudah menolongku.” Ujarnya lemah, disertai dengan anggukan yang tidak lugas. Otot tangannya melemas dan pecut tambangnya lepas dari genggaman eratnya itu.

“Apa yang terjadi padamu?”

Celine terus mengambil nafas, aku bisa langsung mengenali keadaannya bahwa dia baru saja berlari cepat, dan kelihatannya terlalu dipaksakan. “Aku dikejar oleh peserta perempuan Distrik 1. Dia adalah peserta terkuat dan terkeji dalam kompetisi ini, dan aku hampir kehilangan nyawaku di tangannya…”

Dentuman meriam terdengar lagi, dan sekarang telah bertambah satu orang yang telah terbunuh dalam kompetisi ini.

“Zero!!” jerit Celine ketakutan.

Aku terbelalak mendengar jeritan Celine. Pasangannya, Zero Mercuria dari Distrik 2 mati terbunuh. Aku yakin itu perbuatan dari Hinagiku Tanaka, peserta perempuan Distirk 1 yang diceritakan oleh Celine. “Celine! Tenangkan dirimu…”

Air mata mengalir dari matanya dan tercampur dengan keringatnya. “Seharusnya aku yang mati, bukan dia! Kalau saja dia tidak merelakan dirinya untuk menolongku, dan aku tidak lari meninggalkannya…”

Wajahnya lesu dan menderita pedih. Menurut informasi yang kudengar mengenai peserta lainnya, katanya Celine dan Zero menjalin hubungan kekasih. Mereka kebetulan bisa bersama-sama terpilih dalam The Assassination Games. Ya, itu adalah kekejaman dari pengundian nama untuk peserta dan aku benci hal itu.

Aku bangkit berdiri dan mengulurkan tanganku. “Kalau kau sedih, Zero juga pasti sedih. Kita harus terus melangkah maju, atau kau juga akan mati terbunuh. Siapa orang yang tidak akan sedih melihat temannya mati?”

Mata Celine berbinar. Dia tahu maksudku dan mengangguk, meraih tanganku. Tangannya dingin, dan sepertinya dia sudah tahu resikonya. Dia menghapus air matanya dan mencoba untuk tegar. “Terima kasih, Miyu-san.”

“Oh ya, ini sudah malam. Mau berkemah bersama?” tawarku. Dia juga membawa tas perlengkapan yang warnanya merah marun, dan dia mengangguk pelan. Tidak ada rasa kecurigaan diantara kami berdua dan kami memutuskan untuk tetap bersama sampai finish. Tidak ada peraturan yang mengatur diperbolehkannya bekerjasama dengan peserta lain sehingga daripada kami saling membunuh, aku bersekutu dengannya.

“Kamu bawa apa saja?” tanya Celine membuka penutup ranselnya. Ternyata di dalam tasnya memiliki alat yang tak kalah berguna. Pisau dengan mata yang tajam, beberapa kantong plastik cadangan, makanan berupa buah plum kering dan dua kotak berisi keju kambing yang dipotong sedang. Terdapat pula minyak tanah dalam botol kecil, pena yang memiliki lampu dan kantung tidur berwarna merah marun.

“Wah, cukup berguna! Bagaimana kalau kita saling berbagi perlengkapan?” Aku ikut menunjukkan perlengkapan yang terdapat di tas ranselku dan akhirnya kami saling berbagi. Celine juga membawa beberapa kayu bakar hasil cariannya dengan Zero sebelumnya, dan dengan korek apiku, kubakar kayu yang sudah berlumuran minyak tanah itu.

Celine memanggang dendeng sapi yang ada di tasku dan kami bagi untuk berdua. Tak lupa dengan cemilan berupa plum kering yang kami ambil hanya dua buah. Kami berjuang untuk menghemat perlengkapan sampai kami tiba di menara finish nantinya. Sayangnya tidak terlihat sumber air yang dekat disini, tapi kami berdua sama-sama haus.

“Ayo kita cari air, kamu punya botol kan?” ujar Celine membawa pecut tambangnya. Keadaannya sudah membaik, dan dengan tanaman obat-obatan yang kami temukan di sekitar tempat kami berkemah aku mengobati lukanya. “Kita bereskan saja dahulu perlengkapan dan kita bawa supaya tidak diambil.”

Aku mengangguk pelan. “Jadi kita akan mencari tempat berkemah lagi?”
“Yap… Kurasa aku harus belajar cara bertahan hidup, dan berkatmu aku menjadi tegar. Kalau tadi kita tidak bertemu, mungkin tadi aku sudah bunuh diri.”

Aku menghembuskan nafas lega, andai jika dia benar-benar bunuh diri. Kami membereskan barang-barang kami dan membawanya, lalu pergi mencari sumber air. Aku menemukan kacamata hitam di tasku. “Ini gunanya untuk apa sih?”

Celine mengambil kacamata itu. “Coba aku lihat,” jedanya. “Oh! Ini justru sangat berguna, kacamata ini kalau digunakan saat malam hari, kamu bisa melihat semua benda di sekitarmu dengan sangat jelas.”

“Biar aku coba.” Ternyata benar apa kata Celine, dan semua objek di hutan terlihat sangat jelas di mataku. Tupai yang mengendap-ngendap lewat, burung hantu yang bertengger di dahan, barisan semut yang berkoloni di tanah. “Ini benar terjadi!”

Kami berdua terus mencari sumber air sampai Celine bisa mendengar suara air mengalir. “Aku yakin kita sudah dekat sungai, ayo kita berjalan terus ke arah sana.” Ujar  Celine sambil menyalakan pena senternya. Ya, langit semakin gelap dan itu mempersulit kami berdua dalam pencarian ini. Sudah lagi Celine tidak mengenakan kacamata hitam sepertiku, jadi dia harus lebih waspada.

 TRANG!

Seketika terdengar suara bilah pisau. Kami berdua langsung bersembunyi di balik pohon pinus yang agak besar seperti biasanya, dan dengan kacamataku aku bisa melihat seorang gadis berambut coklat panjang dan iris biru safir. Lawannya adalah orang dari Distrik 1, tidak lain adalah rekan dari Hinagiku. Rei Furukawa.

“Itu…” kataku mendekatkan penglihatanku.

Gadis itu menarik jauh rantai besinya, dan mengerikannya rantai itu dilengkapi dengan bilah pisau yang cukup banyak. Aku kenal gadis ini, ya. Dia adalah lawan yang sudah pasti sejajar kekuatannya dengan Hinagiku. Dia adalah Chielle Suzumura.

“Mampus. Itu Chielle, dia adalah peserta perempuan terkuat kedua setelah Hinagiku, dan dia mengerikan juga. Tidak kalah dari Hinagiku.” Komentar Celine pelan.

“Maksudmu?” Aku hanya heran mendengar komentar Celine. Sejak kapan dalam kompetisi ini terdapat peringkat-peringkat kekuatan? “Memang diberi peringkat ya?”

Celine menjelaskannya dengan pelan. “Kalau kau melihat baik-baik area latihan kita waktu itu, terdapat layar yang menunjukkan peringkat perolehan nilai saat Seiru dan orang-orang lainnya melatih kita.”

Aku baru tahu itu, aku tidak terlalu memerhatikan sekitar lokasinya. Naruhana sibuk mencari tahu mengenai Rio dan aku hanya ikut-ikutan, bahkan Ren dengan baiknya memperbolehkanku. Aku jadi teringat Naruhana dan Rio, bagaimana kabar mereka. Tapi aku lebih mengkhawatirkan Ren.

“Terus?”

“Aku melihat semua peringkatnya dan itu masih terekam jelas di otakku. Kalau dilihat dari pembagian gender, peserta perempuan terkuat pertama adalah Hinagiku. Yang kedua adalah Chielle, dan yang ketiga adalah Naruhana. Di bawah itu, kamu berada di peringkat keempat, pas dibawah Naruhana,” jedanya. Aku sedikit kaget bahwa nilaiku cukup tinggi. “Dan aku berada di peringkat ketujuh.”

Aku mengangguk-ngangguk pelan. “Bagaimana dengan pembagian berdasarkan laki-laki?”
Celine melirik keadaan sekitar untuk mengawasi. “Kalau soal itu, rekanmu berada di posisi kedua.” Aku cukup terkagum bahwa Ren ternyata lebih kuat dari dugaanku. Tapi itu memang wajar. Ren sangat pintar, dari semua orang yang kutemui dialah yang paling pintar. Pemain tombak yang sangat terlatih, dan lagi matanya tajam. Dia tahu kemampuan untuk bertahan hidup sepertiku, dan dia juga artistik serta kreatif. Orang yang pantas menerima hal itu.

Tiba-tiba terdengar jeritan pelan, dan suaranya berat. Itu suara laki-laki dan baik aku maupun Celine, bisa ditebak kalau itu adalah suara Rei. Aku bisa melihat Chielle menggunakan bilah pedangnya dan seketika berubah menjadi bunga berduri yang melilit kepada Rei, menusuk badannya. Rantai yang sudah berubah menjadi sulur itu mengikat badan Rei dengan kuat – membuatnya menjadi lemah tertatih, darah tercucur keluar karena duri yang menusuk badannya.

Rei jatuh tersungkur di atas kubangan darahnya sendiri. Chielle mengerikan. Ya, sangat mengerikan. Aku heran apakah memang senjatanya bisa berubah bentuk seperti itu, tapi kami harus berjaga. Celine mengusulkan agar kami menggunakan kamuflase, dan tanpa pikir panjang kami melakukan kamuflase sederhana dengan mengecat badan kami dengan lumpur dan menempelkannya dengan daun-daun.

“Kupikir ada orang, ya sudahlah. Kanata sudah menungguku.” Ujar Chielle dengan santainya meninggalkan jasad Rei di depan sungai. Dentuman meriam kembali terdengar menandakan matinya Rei, dan dia langsung dibawa kembali ke Centrum. Kami mengendap pelan-pelan dan mengisi botol penampung air milikku dengan air di sungai yang sangat jernih itu.

“Untunglah Chielle tidak menyadari kita…” desah Celine lega. “Dia itu rumornya memiliki insting yang kuat.”

Mengingat tas ransel Rei masih tertinggal, kami mengambil barang miliknya dan mungkin berguna. Kami kembali mencari tempat untuk berkemah, lalu mencari kayu bakar lagi untuk membuat api unggun. Kami langsung menggelar kantung tidur kami masing-masing sambil memasang kaos kaki ekstra, dan aku berikan satu pasang milikku untuk Celine. Hawa angin malam ini cukup dingin dan itu membuatku agak menggigil.

Celine membuka tas Rei, dan terdapat barang-barang yang lebih menguntungkan lagi. Panci anti karat, iodine yang bisa dipakai untuk mensterilkan air agar bebas dari kuman, kotak P3K yang berisi perban, pil penurun panas, sirup obat batuk, botol alkohol, dan beberapa alat suntikan. Selain itu juga terdapat kacang dan umbi-umbian, bahkan tali tambang yang mungkin berguna untuk sesuatu, dan terakhir kain tipis yang bisa dimanfaatkan menjadi selimut.

“Kita masak saja umbi-umbian ini dan kita makan setengahnya,” kata Celine merebus air di api yang ia nyalakan, lalu mencemplungkan beberapa umbi-umbian ke dalam panci tersebut. Tak lama, umbi-umbian itu matang dan ia menyerahkan setengah dari umbi yang ia rebus. 

“Makanlah.”

Aku bisa melihat Celine dapat cepat beradaptasi walau cukup berat mengalami kenyataan bahwa kekasihnya sendiri telah mati. “Kau kuat, Celine.”

Celine hanya tersenyum pelan. “Aku rasa itu bisa dianggap pujian. Tapi mungkin ada benarnya, karena sebelumnya aku tidak seperti ini. Lemah, selalu dilindungi oleh Zero. Sekarang aku harus mencari cahaya kekuatanku sendiri.”

Memang benar apa dikatakan Celine. Tanggapan pertamaku mengenai Celine, saat aku sempat berpapasan mukanya di area latihan, berbeda sekali. “Ingat saat kita bertemu untuk yang pertama kalinya di area latihan?”

“Masih ingat kok, apa tanggapanmu?” tanyanya supel.

“Lemah, ya seperti yang kau katakan. Wajah yang terlihat sangat gelisah, dan berkaki hanya pada rekanmu walau kau tahu suatu saat dia akan mati atau kau membunuhnya. Tapi di sisi lain kau baik dan bertanggung jawab.” Aku jujur untuk soal itu, dan dia sama sekali tidak marah. Dia hanya menganggap itu wajar dan bahkan tertawa soal itu.

Celine menyelipkan dirinya kebawah kantung tidur merah marun-nya itu. “Ayo tidur, sudah malam. Kita kumpulkan energi sebanyak-banyaknya karena besok aku ingin cepat-cepat sampai ke menara finish itu. Menurutku sudah dekat,”

“Masa?” tanyaku ikut menyelipkan diri di kantung tidurku.

Celine mengangguk. “Katanya menara itu cukup dekat dengan air terjun dan di dekat sungai sudah pasti ada air terjun, jadi kita hanya perlu untuk menelusurinya sedikit. Aku yakin akan sudah ada orang sebelum kita.”

“Iya juga. Aku harap Ren sudah datang sebelumku.” Ujarku memikirkannya, mengingat bahwa kami rekan. Aku tidak pernah kepikiranuntuk membunuh orang sebaik dirinya, walau dia kadang itu agak kaku. Tapi dia benar-benar baik, dan sangat sopan kepada siapapun.

“Aku bisa melihat kalau kau dan Ren akrab.”

Wajahku memerah malu. “Apa maksudmu?” Aku cukup gagap kalau sudah berbicara soal hubungan cinta, dengan lelaki.

Celine tertawa pelan. “Kau selamat, dia pasti selamat.”

“Oh ya, Celine… Sebelum tidur, aku ingin bertanya. Rantai Chielle itu didesain untuk bisa dirubah-rubah ya? Seperti punya Mai dari Distrik 6.” Tanyaku.

“Tidak, tapi menurut informasi yang kudapat, Chielle punya julukan The Dire Magician. Dia juga mengerikan, dan katanya bisa menggunakan sulap. Mungkin sulap yang bisa merubah rantainya menjadi sulur bunga berduri itu.”

Mengerikan.

Aku pun segera menarik selimut yang kuambil dari tas Rei itu, dan kemudian mengejapkan mataku. Tak lama aku mulai terlelap dalam tidur sampai tak sadar bahwa fajar dengan cepatnya merekah. Sinar matahari menyinari mukaku dan aku bisa melihat Celine tengah memasak.

“Pagi, Celine,” Sapaku sambil keluar dari selipan kantung tidurku. Aku bisa melihat Celine merebus umbi lagi, tapi kali ini dia memadukannya dengan kacang dan juga beberapa tanaman. “Tanaman apa itu?”

“Ini? Ini tanaman sayur yang banyak ditemui di Distrik 2, tak kusangka tumbuh banyak di hutan ini. Ini seperti tanaman yang tumbuh banyak di air bergaram, makanya asin kalau sudah direbus. Warnanya hijau dengan bintik kecil putih, dan itu membuat rasanya asin… Distrik kami sering menyebutnya Whites.”

Celine pun mencincang umbi yang sudah direbus itu dan mengaduknya dengan kacang dan Whites. Kami memakannya bersama, tidak lupa dengan buah plum kering dan sedikit keju kambing. “Kelihatannya mulai hari ini kita juga harus berburu sedikit.”

Aku mengangguk, lalu menyelesaikan makanku. Aku meneguk air yang masih tersisa di botol, lalu membereskan barang-barangku. Kami memutuskan untuk meninggalkan tas Rei di sini, tapi mengambil barang-barangnya dan membaginya ke dalam tas kami masing-masing. 

“Oke, sudah siap?” tanyaku.

Celine mematikan api unggunnya dan dia tak lupa mengambil pecut tambangnya. Kami menutup jejak perkemahan kami disini agar tidak ada yang mengetahuinya, lalu pergi ke sungai sebentar untuk mengambil air. Tidak lupa aku meneteskan iodine ke dalam botol air itu agar semakin steril. Setelah itu, mengikuti petunjuk Celine, kami berdua menelusuri sungai untuk mencari jalan ke menara.

To be Continued

============================================================

Konbanwa minna!

Kali ini tidak banyak karakter yang muncul disini. Lebih banyak berfokus pada perjalanan Miyu dan Celine di hutan, dan kali ini Miyu mendapat teman baru selain Naruhana. Bagaimana dengan kisah mereka selanjutnya? Lima orang sudah mati pada ronde pertama dan hanya tersisa tiga belas orang peserta. Apakah Ren selamat?

Maaf kalau update-nya kadang lama ya, soalnya penulisnya punya kesibukan yang lain #bantai :3

Nanti di Kapitel selanjutnya mungkin akan muncul lagi beberapa karakter dan kalian bisa melihat lagi kerese-an Naruhana~ Terus apakah Miyu mulai menaruh perhatian pada Ren? Terus ikuti perkembangan TAG ya (_ _)

Trivia for Today :
  •          Tanaman Whites diambil dari bintik-bintik putih yang terdapat di daunnya. Diambil dari nama White Dots tapi disingkat saja menjadi Whites.
  •          Kacamata hitam yang dipakai oleh Miyu terinspirasi dari kacamata Katniss Everdeen dari THG yang baru tahu kegunaannya setelah diberi tahu oleh Rue, sama seperti Miyu diberitahu oleh Celine.
  •          Hubungan Miyu dan Celine sama persis dengan hubungan Katniss dengan Rue.


Bisa temukan trivia lainnya?

Jaa ne~



0 comments:

Post a Comment